Pagelaran Wayang Kulit Digelar Kembali: Dua Dalang Kondang dari Mintobasuki Tampil
Mintobasuki-Gabus.desa.id - Pagelaran wayang kulit yang sempat vakum beberapa waktu silam kini kembali digelar di Desa Mintobasuki oleh beberapa pegiat budaya yang menyebut dirinya dengan Komunitas Brojongkoro, pada tanggal 9 hingga 10 September 2022. Meskipun hampir di setiap “Sedekah Bumi” pagelaran wayang hampir diselenggarakan setiap tahunnya sebelum pandemi covid19 hingga masa pasca hampir meredanya covid19, bukan berarti pegelaran yang diselenggarakan oleh komunitas ini sepi pengunjung. Justru ditemukan ratusan pengunjung yang memadati kawaan Situs Panggung Gayaman, tepatnya di Dukuh Jrakah RT. 05/ RW. 01, Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati ini.
Dua dalang kondang yang sempat tenar di masanya kini dihadirkan kembali, yakni Ki Pardi dan Ki Tamsir. Keduanya merupakan penduduk tetap yang sudah lama bermukim di Desa Mintobasuki. Meskipun hampir meredup lantaran beragam persoalan di masanya dan modernisasi, kini kedua dalang tersebut hadir kembali.
“Di samping biaya untuk akomodasinya lebih ekonomis, menampilkan “dhalang” yang berasal dari desa sendiri akan lebih menghidupkan kembali semangat pegiat budaya karawitan,” tutur Siman selaku ketua panitia sebelum acara di gelar pada Jumat tanggal 9 September 2022 silam. Pasalnya, jika menghadirkan sosok dalang dari wilayah sendiri, maka otomatis para penabuh gamelannya pun juga merupakan kelompok yang sebagian berasal dari warga desa Mintobasuki sendiri.
Acara digelar dalam dua sesi, yakni sesi siang dan sesi malam hingga dini hari dari tanggal 9 September hingga 10 September 2022. Penonton terlihat tertib memasuki area pertunjukan, dibantu oleh Karang Taruna Desa Mintobasuki yang turut berpartisipasi. Sesekali terdengar gelak tawa hingga gelengan kepala dari penonton menyaksikan Ki Tamsir yang monolog berperan seolah menjadi beberapa karakter wayang. Meskipun dalam dialognya terkadang Ki Dhalang juga menyinggung beberapa hal yang terdengar sensitif, ternyata di akhir pegelaran beliau mencoba meminta maaf baik secara terbuka di pageran maupun secara pribadi saat acara selesai.
Pertunjukan bukan hanya sekadar pagelaran wayang kulit dan pentas Karawitan semata, melainkan juga merupakan bagian dari "nguri-nguri budaya" (menjaga kelestarian budaya kususnya kesenian wayang kulit). Sempat dihadirkan kisah cerita rakyat beserta sejarah singkat situs yang sempat disaksikan langsung oleh penuturnya. Nohadi, salah satu pemuka yang menjelaskan beberapa kronologi situs Gayaman. Gayaman merupakan sebuah nama yang diambil dari kata buah “gayam”, namun dalam pelafadzannya lebih sering diucapkan secara lisan “Nggayaman”. Menurut Yogi Arief Sofyan yang hadir dalam pertemuan tersebut, Nohadi menceritakan cukup panjang kisah situs Gayaman, Sabtu (10/9/2022)
Situs ini menjadi salah satu tempat keramat/cikal bakal. Seiring berjalannya waktu tempat tersebut tetap menjadi situs dan mengalami proses asimilasi, dengan banyaknya masyarakat Mintobasuki yang mulai mendalami Islam. Unsur dinamisme mulai ditinggalkan, sementara tergantikan budaya unsur ke-Islaman berupa tahlilan saat acara sedekah bumi (syukur terhadap Allah atas tanah yang ditempati). Namun Proses akulturasi pun ada (konsep perpaduan dua kebudayaan sehingga menjadikan kebudayaan baru). Misalnya, budaya untuk tetap melaksanakan sedekah bumi, namun bukan ritual maleman (menginap di situs) melainkan hajatan/kondangan (syukuran dengan sedekah makanan) dengan dipadukan simbol-simbol ke-Islaman, tahlilan dan doa bersama
Acara tersebut didukung oleh beragam pihak, baik dari warga sendiri khususnya penduduk sekitar situs dari Soekarno (mantan perangat desa), Suyono, hingga Kepala Desa Mintobasuki Bapak Saryadi. Sejumlah perangkat desa dan tokoh masyarakat pun hadir, di antaranya Santoso, Guru Paiman, dan Muhammad Syahri. (NS)