Jumlah Petani Milenial Desa Mintobasuki Menurun, Namun Lahan Persawahan Ramai Garapan

09 Agustus 2022
Nur Setyaningrum
Dibaca 195 Kali
Jumlah Petani Milenial  Desa Mintobasuki Menurun, Namun Lahan Persawahan Ramai Garapan

Mintobasuki-Gabus.desa.id - “Jarang sekali pemuda Mintobasuki seusiaku yang terjun ke pertanian. Alasannya mungkin karena panas atau bahkan pekerjaan di pertanian kurang menjanjikan dari segi ekonomi,” kata Yethi Nofitasari, perempuan berusia 29 tahun yang akrab dipanggil “Mbak Ita” ini, (Selasa, 9/8/2022). Pasalnya ia pun belum dapat menyebutkan petani seusianya yang tertarik di bidang pertanian. Namun demikian, ia justru mampu menepis asumsi tersebut. Nyatanya, wanita yang akrab dipanggil Ita ini pun dapat dikategorikan sebagai pengusaha muda bidang pertanian. Sejumlah lahan pertanian mencapai belasan digarapnya. Lahan tersebut bukanlah miliknya sendiri, melainkan hasil dari sewaannya beberapa warga yang enggan menggarap lahan sawah ataupun dari warga yang memilih bidang pekerjaan lain dengan tetap mempertahankan kepemilikan lahan pertanian mereka.

Fenomena penuaan petani dan berkurangnya tenaga kerja muda sebenarnya bukan hanya terjadi di desa Mintobasuki, melainkan tersebar juga di wilayah Indonesia, bahkan menurut jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi pun terjadi di beberapa negara dunia. Pasalnya, hal tersebut dikarenakan sempitnya lahan garapan mereka dengan rata-rata menguasaan lahan hanya 0,25 ha. Hal ini berakibat pada motivasi ketidakenonomisan untuk diusahakan untuk memulai bisnis (Susiolowati, 2017). Sementara itu, menurut data BPPSD tahun 2014, persentase tenaga pertanian (petani) menurut pendidikan di Indonesia didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar 40%, tidak atau belum pernah sekolah 10%, tidak/belum tamat SD 24%, tamat SLTP/ SMP 15%. Sementara petani yang berasal dari tamatan SLTA/ SMA hanya 10 �n pergurun tinggi 1%. Artinya, data ini menunjukkan sangat minimnya lulusan SMA maupun perguruan tinggi yang mengejar profesi petani, alasannya beragam mulai dari minimnya campaign tentang pertanian ataupun black campaign studi pertanian yang banyak membahas hama hingga gagal panen dan beragam risiko lainnya.

Rahasia Lahan Persawahan Ramai Garapan di Mintobasuki

Meskipun jumlah petani muda berkurang, akan tetapi hal ini tidak mengurangi terabaikannya lahan kosong persawahan desa Mintobasuki. Pemilik lahan pertanian dari warga yang hendak merantau/ tidak memiliki waktu untuk menggarap sendiri lahannya lebih nyaman jika menyewakan lahan kepada penggarap lain. Hal ini diyakini mereka bahwa sawah merupakan investasi yang harus dipertahankan. Di satu sisi, penduduk setempat pun memiliki adat kepercayaan bahwa sebisa mungkin sawah/ lahan tidak dijual kepada pembeli lain di luar kerabatnya meskipun pembeli tersebut menawar dengan harga tinggi daripada kerabat terdekat.

Salah satu langkah agar sawah tidak terabaikan adalah menyewakan tanah garapan kepada petani setempat melalui sistem bagi hasil maupun sistem sewa tahunan. Penggarap muda salah satunya Yethi Novitasari ini memanfaatkan tenaga kerja lokal sebagai kelompok yang membantu dalam proses penyemainan hingga penanaman dan pembaharuan lahan. Sementara dalam proses produksi, ia lebih menggunakan jasa pemborong yang bertindak sebagai pemotong batang. Hal ini dikarenakan biaya pemprosesan hingga tahap padi siap konsumsi tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Artinya, keuntungan jika pemprosesan sampai akhir memiliki risiko yang lebih besar daripada langsung menjualnya kepada pemborong. Namun, keuntungan dari proses ini cukup besar padahal belum sampai pada proses gabah kering panen (GKP), Gabah Kering Giling (GKG) hingga proses pemasarannya beras siap konsumsi.

“Sebenarnya tidak sulit menemukan tenaga kerja petani di desa. Namun memang sangat sedikit petani muda masa kini. Jika seandainya terjadi kelangkaan petani, maka dapat pula menggunakan peralatan teknologi yang semakin berkembang. Misalnya mesin berat sebagaimana di Gajahmati (Desa yang berada dis ebelah Barat Laut Desa Mintobasuki)," tambah Ita yang sebelumnya lebih menggeluti bidang wirausaha IUMK.

Selama ini, ia masih menggarap lahannya secara mandiri. Hanya proses penanaman bibit dan proses pemotongan padi dan perbaikan tanah yang digarap bersama dengan teman petani lainnya. Selebihnya, ia memanfaatkan tenaganya untuk biaya perawatan.

“Tidak terlalu sibuk sebagai petani. Sibuknya hanya di awal proses penyemaian dan penanaman, dan panen padi. Untuk proses lainnya, ya seperti saat ini, lebih banyak longgarnya, “ tutup Ita.

Sebenarnya dari waga petani lain pun dalam kelompok usaha tani cukup mendapatkan beberapa pelatihan maupun penyuluhan untuk meningkatkan produktivitas di desa Mintobasuki. Namun, usaha untuk menumbuhkan motivasi jiwa muda bercocok tanam masih perlu diusahakan. (NS/NOE)